Minggu, 20 Maret 2011

Hidup Bertemankan Kerikil Tajam (Bagian 1)

Hari ini suram, sesuram hatinya yang selalu mencoba tuk tetap tegar. Meski jalan yang ia lalui selalu bertaburkan kerikil, namun ia mengerti apa yang harus dilakukannya dalam hidup ini. Ya, awal hidup yang tanpa perencanaan, kemudian setelah beranjak dewasa, menjadi penuh perencanaan. Mungkin memang begini layaknya manusia hidup, penuh pemikiran, seperti yang orang tuanya pun rasakan, dan menjadi penglihatnya sepanjang tahun ini. Meski melalui beberapa hambatan, namun hidup harus tetap berjalan. Rasanya, Itulah yang dinamakan hidup.
Dahulu kala, ia yang kecil selalu menjadi dambaan kawan-kawannya. Pujian guru-gurunya. Selalu mendapat peringkat, atas prestasinya di kelas (walaupun tak pernah mendapat pujian dari ayahnya. Ya, Ayah memang manusia yang dingin, namun tetap terasa menghangatkan seluruh orang di sekelilingnya). Orang tua yang selalu memperhatikan penuh anak-anaknya. Orang tua yang sangat mengerti agama (sampai pernah, saat ia diperintahkan tuk menghafal satu buah do’a, dan ia lama dalam menghafal, ayah sudah menyiapkan sapu lidi. Ya, ayahnya memang orang yang sangat tegas). Orang tua yang menjadi panutan bagi masyarakat, bahkan tidak hanya masyarakat di sekelilingnya. Hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Tempat tinggal yang nyaman dan layak huni. Anak istimewa, yang tinggal dalam kehidupan yang istimewa, yang tidak setiap anak sesusianya dapat merasakan kebahagiaan yang ia rasakan.
Hingga pada suatu saat, setelah ia menyelesaikan bangku Sekolah Dasar, ayahnya mengirimnya ke sebuah sekolah Islam berasrama yang jauh, namun sebagian guru-guru di sana masih kerabat dekat ayah. Tapi di luar dugaan, anak istimewa ini sama sekali tak merasakan kesenangan tinggal di sebuah asrama yang jauh dari orang tua, dan teman-teman yang tidak semuanya ramah dan mudah diajak berteman (mungkin karena masih terbawa keegoisan remaja seumurannya). Hingga ia sudah genap setengah tahun pun, ia masih menangis jika ibunya pulang setelah selesai menjenguk, menarik-narik baju ibunya sambil meraung menangis meminta tolong untuk jangan meninggalkannya sendiri di sini, di penjara suci ini (tempat yang asing untuknya) ketika ibu akan beranjak memasuki mobil. Sampai-sampai ketika ayahnya yang menjenguk, ia tak mau tidur di asrama, ia lebih memilih untuk tidur bersama ayahnya di tempat tinggal kerabat dekat ayah. Anak pertama yang manja, tidak pantas sebetulnya disebut anak pertama.
Satu tahun berlalu pun, sungguh tak terasa. Namun tiba-tiba dalam perpulangan siswa, ayah berjanji akan menjemputnya. Menjemput anak pertamanya untuk pulang, berlibur, dan berkumpul bersama keluarga. Ia pun senang bukan kepalang. Rindu akan ayahnya. Namun, yang terjadi pada hari sebelum perpulangan. Malam yang penuh tanda tanya. Ia dipanggil oleh kerabat dekat ayah (paman dan bibinya) untuk pulang ke kampung halaman, dengan iming-iming “Ayah sedang di jalan, dan akan menjemput di sana”. Ya, meski penuh tanda tanya, ia pun ikut pulang bersama paman dan bibinya ke kampung halaman (bukan ke rumah tercinta yang ia rindukan). Namun sesampainya di kediaman orang tua ayah (kakek dan nenek), tak ia temukan sosok yang fasih betul 12 tahun ia panggil “Ayah”. Yang hidungnya mirip benar dengan hidungnya. Kulit berwarna sawo matang. Bertubuh kekar berwibawa sebagai penopang hidup keluarganya. Ya, ayahnya yang selalu ia banggakan. Dalam pikirannya, “Mungkin ayah belum sampai.” Kemudian ia menunggu sang ayah, dan tak terasa memejamkan kedua bola matanya yang bulat, yang sedari tadi ditopang oleh kedua pipinya yang ranum.
B e r s a m b u n g

2 komentar:

Ai Ratnawati mengatakan...

ibu ceritanya bikin saya nangis nih, lanjut ya bu

Hilda N. Mawaddah mengatakan...

Masa sih Ai? Hehe jadi pengen lanjutin, tp belum ada waktu.. :D